Senin, 27 Februari 2012

darmawaty malik: PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN

darmawaty malik: PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN: PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN M ata K uliah : PENDIDIKAN ISLAM NUSANTARA D osen ...


1.       PENDAHULUAN
Proses perumusan kebijakan adalah salah satu alat penting dalam tahapan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan kebijakan, baik pemerintah maupun non-pemerintah. Hal ini penting bagi mahasiswa Program Magister Studi Islam untuk mengetahui dan melaksanakan penyusunan suatu kebijakan di tempat kerja. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkam dalam proses perumusan kebijakan. Selain itu, para ahli harus menguasai makna kebijakan dan perumusan kebijakan, perumusan kebijakan dalam siklus kebijakan, lingkungan kebijakan dan prosedur perumusan kebijakan, serta faktor-faktor lainnya.

2.      PEMBAHASAN
Pembuatan kebijakan publik merupakan fungsi penting dari sebuah pemerintahan. Oleh karena itu, kemampuan dan pemahaman yang memadai dari pembuat kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan menjadi sangat penting bagi terwujudnya kebijakan publik yang cepat, tepat, dan memadai. Kemampuan dan pemahaman terhadap prosedur pembuatan kebijakan tersebut juga harus diimbangi dengan pemahaman dari pembuat kebijakan publik terhadap kewenangan yang dimiliki.
Hal itu terkait dengan kenyataan sebagaimana diungkapkan oleh Gerston bahwa kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan pada semua tingkatan pemerintahan, karenanya tanggung jawab para pembuat kebijakan akan berbeda pada setiap tingkatan sesuai dengan kewenangannya. Selain itu, menurut Gerston hal yang penting lainnya adalah bagaimana memberikan pemahaman mengenai akuntabilitas dari semua pembuat kebijakan kepada masyarakat yang dilayaninya (Gerston, 2002: 14). Dengan pemahaman yang seperti itu dapat memastikan pembuatan kebijakan publik yang mempertimbangkan berbagai aspek dan dimensi yang terkait, sehingga pada akhirnya sebuah kebijakan publik dapat dipertanggungjawabkan secara memadai.
Mengingat peran penting dari kebijakan publik dan dampaknya terhadap masyarakat, maka para ahli juga menawarkan sejumlah teori yang dapat digunakan dalam proses perumusan kebijakan serta kriteria yang dapat digunakan untuk mempengaruhi pemilihan terhadap suatu kebijakan tertentu. Teori dan kriteria tersebut dapat ditemukan dalam buku Anderson tahun 2006 yang berjudul Public Policy Making: An Introduction. Menurut Anderson (Anderson, 2006: 122-127), terdapat tiga teori utama yang dapat digunakan dalam proses pembuatan sebuah kebijakan yaitu
a.       Teori rasional-komprehensif; adalah teori yang intinya mengarahkan agar pembuatan sebuah kebijakan publik dilakukan secara rasional-komprehensif dengan mempelajari permasalahan dan alternatif kebijakan secara memadai.
b.      Teori incremental; adalah teori yang intinya tidak melakukan perbandingan terhadap permasalahan dan alternatif serta lebih memberikan deskripsi mengenai cara yang dapat diambil dalam membuat kebijakan.
c.       Teori mixed scanning; adalah teori yang intinya menggabungkan antara teori rasional-komprehensif dengan teori inkremental.
Selain itu, Anderson juga mengemukakan enam kriteria yang harus dipertimbangkan dalam memilih kebijakan, yaitu: (1) nilai-nilai yang dianut baik oleh organisasi, profesi, individu, kebijakan maupun ideologi; (2) afiliasi partai politik; (3) kepentingan konstituen; (4) opini publik; (5) penghormatan terhadap pihak lain; serta (6) aturan kebijakan (Anderson, 2006: 127-137).
Berangkat dari gambaran kondisi tersebut, tulisan singkat ini berupaya untuk dapat memberikan pemahaman mengenai proses pembuatan kebijakan dan berbagai pertimbangan yang meliputinya, khususnya yang terkait dengan tahapan perumusan kebijakan (policy formulation). Terdapat sejumlah hal yang akan menjadi fokus pembahasan dari tulisan ini yaitu makna kebijakan dan perumusan kebijakan, perumusan kebijakan dalam siklus kebijakan, lingkungan kebijakan, serta prosedur perumusan kebijakan. Menurut Jann dan Wegrich (2007: 48), di dalam tahap perumusan kebijakan, permasalahan kebijakan, usulan proposal, dan tuntutan masyarakat ditransformasikan kedalam sejumlah program pemerintah.
Perumusan kebijakan dan juga adopsi kebijakan akan meliputi definisi sasaran, yaitu apa yang akan dicapai melalui kebijakan serta pertimbangan-pertimbangan terhadap sejumlah alternatif yang berbeda. Perumusan kebijakan dalam prakteknya akan melibatkan berbagai aktor, baik yang berasal dari aktor negara maupun aktor non-negara atau yang disebut sebagai pembuat kebijakan resmi (official policy-makers) dan peserta non-pemerintahan (non-governmental participants) (Anderson, 2006: 46-67).
Pembuat kebijakan resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan legal untuk terlibat dalam perumusan kebijakan publik. Mereka terdiri atas legislatif, eksekutif, badan administratif, serta pengadilan. Legislatif merujuk kepada anggota kongres/ dewan yang seringkali dibantu oleh para staffnya. Eksekutif merujuk kepada Presiden dan jajaran kabinetnya. Administratif menurut merujuk kepada lembaga-lembaga pelaksana kebijakan. Di lain pihak, pengadilan juga merupakan aktor yang memainkan peran besar dalam perumusan kebijakan melalui kewenangan mereka untuk me-review kebijakan serta penafsiran mereka terhadap undang-undang dasar. Dengan kewenangan ini, keputusan pengadilan bisa mempengaruhi isi dan bentuk dari sebuah kebijakan public (Anderson, 2006: 46-57).
Selain pembuat kebijakan resmi, terdapat pula peserta lain yang terlibat dalam proses kebijakan yang meliputi di antaranya kelompok kepentingan; partai politik; organisasi penelitian; media komunikasi; serta individu masyarakat. Mereka ini disebut sebagai peserta non-pemerintahan (nongovernmental participants) karena penting atau dominannya peran mereka dalam sejumlah situasi kebijakan, tetapi mereka tidak memiliki kewenangan legal untuk membuat kebijakan yang mengikat. Peranan mereka biasanya adalah dalam menyediakan informasi; memberikan tekanan; serta mencoba untuk mempengaruhi (Anderson, 2006: 57-67). Mereka juga dapat menawarkan proposal kebijakan yang telah mereka siapkan.
Terkait keterlibatan peserta dalam pembuatan kebijakan ini, khususya dalam tahapan perumusan kebijakan, maka tahap perumusan kebijakan diharapkan melibatkan peserta yang lebih sedikit dibandingkan dalam tahapan penetapan agenda. Dalam tahapan ini yang lebih banyak diharapkan adalah kerja dalam merumusakan alternatif kebijakan yang mengambil tempat diluar mata/ perhatian publik (Sidney, 2007: 79). Dalam sejumlah teks standar kebijakan, tahap perumusan disebut sebagai sebuah fungsi ruang belakang. Detail dari kebijakan biasanya dirumuskan oleh staff dari birokrasi pemerintah, komite legislatif, serta komisi khusus. Proses perumusan ini biasanya dilakukan di ruang kerja dari para aktor perumus tersebut.

a.      Proses Perumusan Kebijakan
Tahapan perumusan kebijakan merupakan tahap kritis dari sebuah proses kebijakan. Hal ini terkait dengan proses pemilihan alternatif kebijakan oleh pembuat kebijakan yang biasanya mempertimbangkan pengaruh langsung yang dapat dihasilkan dari pilihan alternatif utama tersebut. Proses ini biasanya akan mengekspresikan dan mengalokasikan kekuatan dan tarik-menarik di antara berbagai kepentingan sosial, politik, dan ekonomi. Tahap perumusan kebijakan melibatkan aktivitas identifikasi dan atau merajut seperangkat alternatif kebijakan untuk mengatasi sebuah permasalahan serta mempersempit seperangkat solusi tersebut sebagai persiapan dalam penentuan kebijakan akhir (Sidney, 2007: 79).
Dengan mengutip pendapat dari Cochran dan Malone (1999), menurut Sidney (2007: 79) perumusan kebijakan mencoba menjawab sejumlah pertanyaan, yaitu: apa rencana untuk menyelesaikan masalah? Apa yang menjadi tujuan dan prioritas? Pilihan apa yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut? Apa saja keuntungan dan kerugian dari setiap pilihan? Eksternalitas apa, baik positif maupun negatif yang terkait dengan setiap alternatif?
Perumusan seperangkat alternatif akan melibatkan proses identifikasi terhadap berbagai pendekatan untuk menyelesaikan masalah; serta kemudian mengidentifikasi dan mendesain seperangkat perangkat kebijakan spesifik yang dapat mewakili setiap pendekatan (Sidney, 2007: 79). Tahap perumusan juga melibatkan proses penyusunan draft peraturan untuk setiap alternatif yang isinya mendeskripsikan mengenai sanksi, hibah, larangan, hak, serta mengartikulasikan kepada siapa atau kepada apa ketentuan tersebut akan berlaku dan memiliki dampak, dan lain-lain. Pernyataan itu juga didukung oleh pernyataan Jann dan Wegrich serta Anderson. Menurut Jann dan Wegrich (2007: 48), di dalam tahap perumusan kebijakan, permasalahan kebijakan, usulan proposal, dan tuntutan masyarakat ditransformasikan ke dalam sejumlah program pemerintah. Perumusan kebijakan dan juga adopsi kebijakan akan meliputi definisi sasaran, yaitu apa yang akan dicapai melalui kebijakan serta pertimbangan-pertimbangan terhadap sejumlah alternatif yang berbeda.
Perumusan kebijakan melibatkan proses pengembangan usulan akan tindakan yang terkait dan dapat diterima (biasa disebut dengan alternatif, proposal, atau pilihan) untuk menangani permasalahan publik. Perumusan kebijakan menurut Anderson tidak selamanya akan berakhir dengan dikeluarkannya sebagai sebuah produk peraturan perundang-undangan (Anderson, 200: 103-109). Namun, pada umumnya sebuah proposal kebijakan biasanya ditujukan untuk membawa perubahan mendasar terhadap kebijakan yang ada saat ini. Terkait permasalahan itu, terdapat sejumlah kriteria yang membantu dalam menentukan pemilihan terhadap alternatif kebijakan untuk dijadikan sebuah kebijakan, misalnya: kelayakannya, penerimaan secara politis, biaya, manfaat, dan lain sebagainya (Sidney, 2007: 79).
Jann dan Wegrich mengemukakan dua faktor utama yang menentukan alternatif kebijakan akan diadopsi menjadi kebijakan, yaitu (Jann, 2007: 50):
a.       Penghilangan alternatif kebijakan akan ditentukan oleh sejumlah parameter susbtansial dasar, misalnya kelangkaan sumberdaya untuk dapat melaksanakan alternatif kebijakan. Sumberdaya ini dapat berupa sumberdaya ekonomi maupun dukungan politik yang didapat dalam proses pembuatan kebijakan.
b.      Alokasi kompetensi yang dimiliki oleh berbagai aktor juga memainkan peranan penting dalam penentuan kebijakan.
Selain itu, akademis juga memiliki peran penting sebagai penasehat kebijakan atau pemikir (think tanks). Pengetahun dari para penasehat ini seringkali berpengaruh dalam proses perumusan kebijakan (Jann, 2007: 51).
Perumus kebijakan perlu mempertimbangkan sejumlah hal yang dapat meningkatkan peluang berhasilnya proposal kebijakan yang dirumuskannya. Sejumlah hal tersebut adalah (Anderson, 2006: 104):

1 komentar: