Senin, 27 Februari 2012

SEJARAH SOSIAL PENDIDIKAN ISLAM AWAL DI NUSANTARA

I.             PENDAHULUAN
Dalam khasanah pendidikan Islam, sejarah perkembangan pendidikan akan selalu menjadi kajian yang menarik untuk dianalisis secara kritis karena akan menempatkan perkembangan pendidikan islam dan intelektual muslim secara objektif dan komprehensif. Oleh karena itu, akan diperoleh gambaran keberadaan, peran, dan kontribusi pendidikan Islam. Sejarah sosial pendidikan Islam awal di Nusantara mulai tumbuh dan berkembang pada saat masuknya pedagang dari Arab dan Gujarat. Pembahasan ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang sejarah sosial pendidikan Islam, baik dalam perkembangannya maupun dalam peran serta kontribusi pendidikan Islam awal di Nusantara

II.          PEMBAHASAN
1.         Tinjauan pustaka
a.      Konteks Masyarakat Islam Awal di Nusantara
[1]Pembahasan tentang konteks sosial masyarakat awal di Nusantara digunakan dalam rangka memahami perkembangan pendidikan Islam secara objektif dan komprehensif. Hal ini mengingat perkembangan pendidikan bukanlah sesuatu yang konstan, tetapi dinamis. Dengan pemahaman konteks tersebut akan diperoleh perspektif yang tidak bersifat menyederhanakan.
[2]Islam sebagai sebuah pemerintahan hadir di Indonesia sekitar abad ke-12, tetapi sebenarnya Islam sudah masuk ke Indonesia pada abad 7 M. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara, dan Bani Umayyah di Asia Barat. Menurut sumber-sumber Cina menjelang akhir perempatan ketiga dari abad 7 M, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera. Pada saat itu Islam juga memberikan pengaruhnya kepada institusi politik yang ada.
[3]Pertumbuhan komunitas Islam bermula di berbagai pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera, Jawa, dan pulau lainnya. Kerajaan-kerajaan Islam yang pertama berdiri juga di daearah pesisir adalah Samudera Pasai, Demak, Banten, Cirebon, Ternate, dan Tidore. Setelah itu, islam menyebar ke daerah-daerah sekitar, seperti Sulawesi dan Kalimantan. Menjelang  akhir abad ke-17 M, pengaruh Islam sudah hampir merata di berbagai wilayah penting di Nusantara. Kesultanan Islam kemudian semikin menyebarkan ajaran-ajarannya ke penduduk dan melalui melakukan pembauran untuk menggantikan Hindu sebagai kepercayaan utama pada akhir abad ke-16 M di Jawa dan Sumatera.
[4]Penyebaran Islam dilakukan melalui hubungan perdagangan di luar Nusantara. Hal itu disebabkan para penyebar dakwah atau mubaligh merupakan utusan dari pemerintahan Islam yang datang dari luar Indonesia. Oleh karena untuk menghidupi diri dan keluarga mereka, para mubaligh itu bekerja melalui cara berdagang. Para mubaligh juga menyebarkan Islam kepada para pedagang dari penduduk asli hingga para pedagang ini memeluk Islam dan meyebarkan pula ke penduduk lainnya, karena umumnya pedagang dan ahli kerajaan lah yang pertama mengadopsi agama baru tersebut.
[5]Disamping merupakan pusat-pusat politik dan perdagangan, ibukota kerajaan juga merupakan tempat berkumpul para ulama Islam dan mubaligh. Kedudukan ulama adalah sebagai penasihat raja, terutama dalam bidang keagamaan juga terdapat di kerajaan-kerajaan Islam lainnya. Di samping sebagai penasihat raja, para ulama juga duduk dalam jabatan keagamaan yang tingkat dan namanya berbeda-beda. Penyebaran dan pertumbuhan kebudayaan Islam di Indonesia terutama terletak di pundak para ulama, paling tidak ada dua cara yang dilakukan nya.
1.      Pertama, membentuk kader-kader ulama yang akan bertugas sebagai mubaligh ke daerah-daerah yang lebih luas. Cara ini dilakukan di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan pesantren di Jawa, Dayah di Aceh, dan Surau di Minangkabau.
2.      Kedua, melalui karya-karya yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat yang jauh. Karya-karya tersebut mencerminkan perkembangan pemikiran dan ilmu-ilmu keagamaan di Indonesia pada masa itu.

b.      Pendidikan Islam Awal Di Nusantara
[6]Secara historis pendidikan Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Dikatakan demikian karena aktifitas penyebaran Islam, pada hakikatnya juga merupakan aktivitas pendidikan Islam. Pendidikan sendiri diartikan sebagai usaha sadar untuk mendewasakan manusia yang ditandai dengan perubahan positif pola pikir, sikap, dan prilaku peserta didik.
Dalam konteks pendidikan, sesungguhnya para penyebar (muballigh) Islam telah melakukan misi pendidikan, yakni melakukan transinternalisasi nilai-nilai ke-Islaman kepada penduduk Nusantara. Halaqah merupakan perwujudan institusi pendidikan Islam yang paling awal di dunia Islam, tak terkecuali di Nusantara. Halaqah adalah suatu bentuk pendidikan yang mudah dilakukan dan tidak membutuhkan sarana dan prasarana yang rumit.
Halaqah atau halqah artinya lingkaran. Kalimat halqah min al-nas (حلقة من الناس) artinya kumpulan orang yang duduk. Halaqah adalah proses belajar mengajar yang dilaksanakan murid-murid dengan melingkari guru yang bersangkutan. Biasanya duduk dilantai serta berlangsung secara kontinu untuk mendengarkan seorang guru membacakan dan menerangkan kitab karangannya atau memberi komentar atas karya orang lain. Suatu proses pendidikan dimana murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah lingkaran murid dengan posisi wajah murid menghadap kepada guru
Institusi halaqah adalah lembaga pendidikan paling tua dan tetap bertahan sejak masa paling awal Islam hingga masa kini. Halaqah, meskipun bentuknya sederhana berperan penting dalam arus transformasi ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan keislaman dalam perkembangan masyarakat Muslim. Lahirnya ulama-ulama besar Nusantara yang memiliki reputasi internasional, diantaranya Nur al-Din al-Raniri, Hamzah Fansuri, Syams al-Din al-Samatrani, Yusuf al-Maqassari, tidak lepas dari institusi pendidikan Islam yang disebut halaqah itu. Bahkan halaqah-halaqah ilmu di berbagai wilayah Nusantara menjadi kekuatan awal terpenting penyebaran pesan dakwah dan juga tentunya bagi perwujudan misi pendidikan Islam
[7]Pendidikan dan pengajaran agama Islam dalam bentuk pengajian Al-quran dan pengajian kitab awalnya diselenggarakan di rumah-rumah surau, masjid, pesantren, dan lain-lain. Sejarah sosial pendidikan Islam awal di Nusantara, khusus Jawa, dimulai sekitar abad 15-16 M, melalui perdagangan, pernikahan, pengobatan, budaya, dan pendidikan. Nilai-nilai pendidikan Islam ditransformasikan dan diperkenalkan melalui tokoh pendidikan dan pendirian sarana pendidikan, yaitu pesantren. Peran Wali Songo tidak terlepas dari sejarah pendidikan Islam di Nusantara. Wali Songo melalui dakwahnya berhasil mengkombinasi metoda aspek spiritual dan mengakomodasi tradisi masyarakat setempat dengan cara mendirikan pesantren, tempat dakwah dan proses belajar mengajar.
[8]Wali songo melakukan proses Islamisasi dengan menghormati dan mengakomodasi tradisi masyarakat serta institusi pendidikan dan keagamaan sebelumnya, padepokan. Padepokan diubah secara perlahan, dilakukan perubahan sosial secara bertahap, mengambil alih pola pendidikan dan mengubah bahan dan materi yang diajarkan dan melakukan perubahan secara perlahan mengenai tata nilai dan kepercayaan masyarakat, perubahan sosial, tata nilai, dan kepercayaan. [9]Hal ini menciptakan alkulturisasi budaya termasuk pedoman hidup masyarakat, pemenuhan kebutuhan hidup, dan [10]operasionalisasi kebudayaan melalui pranata-pranata sosial yang ada di masyarakat, yaitu pedoman moral atau hidup, etika, estetika, dan nilai budaya (adanya simbol-simbol dan tanda-tanda).
[11]Proses akulturisasi yang berjalan dengan baik akan menghasilkan integrasi unsur kebudayaan asing dengan kebudayaan setempat. [12]Menurut Coser dan Rosenberg, kelompok primer  yaitu agen sosialisasi (Wali Songo)  yang menggerakkan pengalihan kepercayaan, pedoman hidup, dari agama Hindu-Budha menjadi Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar